NORMATIVISME DALAM FILSAFAT PERSPEKTIF ISLAM
H. Hasan Aedy,
Program Pasca Sarjana Universitas Haluoleo
Email :
hasanaedy@yahoo.com
Blog : hasanaedy.blogspot.com
I. Pendahuluan
Filsafat Normativisme dalam
perspektif Islam bukan hal baru bagi dunia ilmu pengetahuan. Bahkan secara
etimologis kata filsafat itu sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata
falsafah atau pandangan hidup. Bukan itu saja filosof kenamaan seperti Ibnu
Sina (Avecena), Al-Farabi, Al-Kindi dan Imam Ghazali adalah filosof muslim yang
menduduki reputasi dunia dengan karya-karya besarnya. Pertanyaannya adalah,
benarkah para filosof Islam (muslim) hanya mengandalkan kebenaran rasio dan kebenaran empiris,
sebagaimana yang diagung – agungkan oleh Filsafat Positivisme. Jawabnya adalah,
terpulang kepada para filosof muslim itu sendiri, sejauhmana mereka mampu
memahami kebenaran realitas yang supra rasional, dan kebenaran realitas yang
tidak rasional. Mereka yang berangkat dari kebenaran wahyu walaupun tidak
rasional pasti yakin dengan kebenaran itu. Alasannya karena Tuhan tidak memberi
ilmu kepada manusia melainkan hanya sedikit (Qs. Al – Isra: 85). Karena itu
filosof muslim yang memilih aqidah yang benar tidak akan pernah tersesat karena
belajar filsafat. Bahkan dengan belajar filsafat mereka akan menjadi lebih
sadar terhadap kebenaran realitas yang bersumber dari Rab-nya. Inilah filsafat
Normative dalam perspektif Islam yang tidak hanya mengagung – agungkan
kebenaran akal dan kebenaran empiris, tetapi juga meyakini kebenaran Ilahi
sebagai satu – satunya kebenaran yang tertinggi dan mutlak, yang terkadang
tidak terjangkau dengan akal dan eksperimen ilmiah. Demikian pula kebenaran
sunnah, kebenaran ijma atau konsensus sahabat, dan kebenaran ijtihad, sebagai
hasil inovasi dan temuan empiris para ilmuwan (ulama) yang tidak merugikan atau
tidak bertentangan dengan kebenaran Tuhan, dan kebenaran Rasulnya.
II. Kebenaran Yang Berasal Dari Pengalaman
Empiris (Sains)
Kebenaran empiris adalah kebenaran
rasional yang dibuktikan secara ilmiah. Kebenaran ini diperoleh secara ilmiah
dan ditentukan oleh cara atau metode menemukannya, siapa yang melakukannya dan
alat ukur apa yang digunakan, sehingga kebenarannya tidak selalu 100 persen.
Bahkan para ilmuwan sosial, sering memaklumi tingkat kesalahan sampai 10
persen. Artinya penemuan ilmiah untuk bidang sosial sudah dianggap benar, jika
kebenarannya diyakini sudah mencapai 90 persen atau lebih. Dan inilah yang
menjadi salah satu kelemahan dari kebenaran empiris yang tidak sepenuhnya
benar.
Bahkan kebenaran ilmiah untuk bidang
sosial, syarat dengan asumsi dengan tingkat kesalahan sampai 20 persen. Artinya
penemuan ilmiah untuk bidang sosial tersebut sudah dianggap benar, jika
kebenarannya diyakini sudah mencapai 80 persen atau lebih. Dan inilah kelebihan
dan kelemahan dari kebenaran ilmiah bidang sosial, yang tidak sepenuhnya benar.
Disamping itu, kebenaran ilmiah
adalah berdasarkan pula pada penilaian ilmiah yang dipengaruhi oleh banyak
faktor diantaranya adalah: alat ukurnya, tingkat kecermatan, kecerdasan
penemunya, kondisi alamiahnya, kejujuran dan integritas para pendukungnya dan
sebagainya, sehingga kebenaran tersebut selalu terbuka untuk diuji kembali,
kapan saja atau oleh siapa saja yang telah meragukan kebenarannya. Karena itu
kebenaran ilmiah juga menjadi kebenaran yang relatif. Relatif karena hanya
benar selama belum ada penemuan yang menolak kebenarannya. Bahkan kebenarannya
hanya diyakini dengan memaklumi tingkat kesalahannya yang melekat pada
kebenaran tersebut. Maka pantaslah kalau filosof masih dalam pencarian, dimana
kebenaran itu, dan untuk apa kebenaran dicari. Sikap filosof yang skeptis
dengan kebenaran, telah menunjukkan bahwa kebenaran akal dan kebenaran empiris,
adalah kebenaran yang lemah yang hanya bersifat sementara, bahkan bisa menjadi
kebenaran yang masih diperdebatkan. Keterbatasan akal manusia dan keterbatasan
hidup manusia, telah menjadi aksioma terhadap kebenaran yang bersumber dari
akal. Demikian pula luasnya alam raya, dengan segala proses yang dilaluinya,
hanya akan mampu dipikirkan manusia, secara spekulatif, yang bisa benar, bisa salah.
Karena itu dalam filsafat normatif, perspektif Islam hanya dapat meyakini
kebenaran dengan kata – kata: “ Insya Allah “ atau Wallahu A’lam bishowab.
Disinilah kekuatannya para penganut filsafat normatif perspektif Islam yang
tidak hanya puas dengan kekuatan rasio dan uji empiris, tetapi juga kuat dengan
keyakinannya terhadap kebenaran Allah Swt.
III. Sumber – Sumber Kebenaran Filsafat
Normativisme Perspektif Islam
Wahyu
Tuhan adalah kebenaran yang bersumber dari Sang Pencipta, Pencipta akal,
pencipta naluri dan pencipta alam semesta dengan semua makhluk yang ada
didalamnya, termasuk pencipta manusia Genius dan para filosof penemu kebenaran
dengan rasionya, dan studi empirisnya. Namun kebenaran wahyu ada yang tidak
masuk akal, tidak terjangkau oleh akal dan tidak bisa diteliti secara empiris.
Akan tetapi karena manusia mendapat hidayah (beriman) maka mereka percaya
begitu saja terhadap kebenaran wahyu dengan keyakinanya sendiri, bahwa
kebenaran wahyu adalah kebenaran yang absolut, hanya manusia tidak diberi ilmu
oleh Sang Pencipta untuk mampu memahami kebenaran wahyu itu, menurut akalnya
dan menurut pengalaman empirisnya. Karena itu Sang Pencipta mengingatkan
manusia bahwa tidak memberi ilmu yang
cukup buat manusia, melainkan hanya sedikit saja. Dan kebenaran wahyu inilah
yang menjadi acuan ilmuwan buat semua manusia dalam menjalani kehidupan,
sehingga manusia hanya mengerjakan kebaikan dan menghindari segala keburukan
sesuai dengan pesan wahyu itu sendiri. Keburukan yang menyangkut diri sendiri,
menyangkut sesama dan lingkungan semesta harus dihindari manusia. Dengan
meyakini kebenaran wahyu maka manusia akan melaksanakan misi hidupnya dengan
menerapkan akidah yang benar dan ibadah yang benar, sehingga bumi ini akan
diberkati oleh Sang Pencipta dari langit dan dari bumi.
Adapun
sumber kebenaran Filsafat Normatif adalah sebagai berikut :
1) Kebenaran
Yang Bersumber Dari Wahyu Tuhan
Kebenaran
wahyu bukan kebenaran yang diagungkan oleh aliran positivisme dan aliran
pragmatisme. Kebenaran ini bukan pula kebenaran yang dihasilkan oleh akal atau
rasio yang dimiliki oleh manusia. Sesuatu hanya diterima sebagai kebenaran
kalau masuk akal, atau tidak bertentangan dengan kebenaran yang sudah diterima
lebih dulu. Boleh jadi kebenaran yang ada akan ditolak oleh manusia walaupun benar
karena pembuktian baru telah bertentangan dengan kebenaran umum yang telah
diyakini oleh kebanyakan manusia. Kebenaran hanya akan bermanfaat bagi manusia
selama masih rasional dan dapat dibuktikan secara empiris. Maka manusiapun
meneliti alam semesta dan mencari kebenaran dari alam. Di sini hukum-hukum
alam, dipercaya sebagai sumber kebenaran yang paling berpengaruh dalam
kehidupan sepanjang peradaban manusia, namun ketika Nabi Ibrahim dibakar oleh
Raja Namrud, beliau merasa dingin didalam api unggun. Kembali hukum alam
terbantah sebagai referensi yang paling dipercaya. Karena ada “Sang Kausa Prima”,
yang mampu berbuat, melawan hukum alam. Di sini berarti berlawan pula dengan
rasio manusia. Pada saat yang lain akal manusia terbatas dengan masa berlakunya
yang terbatas pula. Bukankah hukum alam bisa berubah, kalau yang menguasai alam
merubahnya. Itulah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi referensi utama dari
segala kejadian, Karena itu sepanjang peradaban manusia telah membuktikan
banyak kelemahannya sesuai dengan kelemahan manusia itu sendiri, sungguhpun
pemikiran itu lahir dari otak filosof atau Sang Genius. Bahkan kebenaran dari
Sang filosof atau Sang Genius tidak akan pernah melampaui kebenaran dari Yang
Maha Benar. Demikianlah keterbatasan rasio yang benar, tetapi penuh celah dan
sangat relatif kebenarannya, sehingga sering memerlukan anggapan (asumsi) yang
secara ilmiah masih perlu dibuktikan pula. Inilah kebenaran wahyu yang menjadi
sumber para filosof dalam perspektif Islam. Kebenaran ini akan membawa manusia
kepada kehidupan yang benar tanpa kesesatan dunia dan akhirat.
2) Kebenaran
Yang Bersumber Dari As Sunnah
Sumber
kebenaran yang lain, setelah wahyu Sang Pencipta adalah sabda Rasulullah Saw.
Sungguhpun banyak hadist palsu dan hadist lemah, namun para ulama fakih tidak
berselisih pendapat, jika haditsnya sahih, maka hadist tersebut menjadi sumber
kebenaran. Dan sumber kebenaran ini, bersifat absolut, sehingga jika secara
rasional tidak masuk akal, maka yang salah bukan hadisnya tetapi akal manusia
yang terbatas. Inilah sumber ilmu yang kedua setelah Al-Qur’an yang menjadi
acuan filsafat ilmu dalam perspektif Islam yang sesungguhnya. Selain itu ada
pula yang disebut idjma, kias dan ijthad. Namun kebenarannya sudah lebih rendah
dari hadist.
3) Kebenaran
Yang Bersumber Dari Ijma
Ijma
adalah sumber kebenaran, yang ketiga setelah wahyu dan sunnah. Dengan Ijma,
maka berbagai hal yang samar – samar, kemudian menjadi terang, dan menjadi sumber
nilai yang dapat diyakini kebenarannya 100 persen. Masalah muammalah, yang
merupakan hubungan antara sesama manusia, menjadi lebih jelas dan terarah
kepada nilai baik dan buruk, dengan mengacu kepada ijma.
4) Kebenaran
Yang Bersumber Dari Ijtihad
Ijtihad
adalah sumber kebenaran dalam Islam yang dicapai sebagai hasil – hasil inovasi
dan kreativitas ulama (ilmuwan) yang tidak bertentangan dengan wahyu, sunnah
dan ijma. Disinilah kebenaran empiris dan rasional berfungsi sebagai penjabaran
atau detail dari kehidupan.
5) Kebenaran
Yang Bersumber Dari Perilaku Alam Semesta (Empiris)
Penciptaan
alam semesta dan jagat raya, pergantian siang dan malam adalah ayat – ayat
Tuhan yang menjadi sumber kebenaran setelah Firman Tuhan yang tertulis. Karena
itu seorang filosof Islam, dapat menemukan kebenaran dengan perenungan terhadap
alam raya dan kejadian didalamnya. Dan kebenaran ini pulalah yang disinyalir
dengan hadist Rasulullah Saw “ Fikirkan tentang ciptaannya jangan fikirkan
Penciptanya (Allah). Inilah sumber kebenaran filsafat ilmu dalam perspektif
Islam yang mestinya selalu dikaji dan diteliti, sehingga memberi makna bagi
manusia dalam menelusuri kebenaran lainnya, khususnya kebenaran filsafat yang
bertentangan dengan kebenaran Islam.
6) Kebenaran
Yang Bersumber Dari Eksistensi Manusia
Manusia
adalah bagian dari alam semesta (makro kosmos) karena itu, manusia memiliki
ciri – ciri dari alam semesta. Lihat saja dalam semesta ini ada angin, api, air
dan ada tanah. Keempat unsur tersebut juga ada pada diri manusia sebagai mikro
kosmos. Karena itu selain alam semesta, diri manusia, jasmani maupun rohani
adalah ayat-ayat Tuhan yang menjadi sumber kajian, yang dapat menghasilkan
kebenaran yang hakiki. Bukankah ayat yang pertama turun kebumi mengajak manusia
untuk membaca ? Perhatikan firman-Nya dalam Surat Al-Alaq (ayat 1 – 5) Allah
SWT berfirman yang artinya : “ Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah atas nama Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang
mengajarkan manusia dengan Kalam,, dan mengajarkan manusia tentang apa – apa
yang belum diketahuinya”.
Ayat
– ayat tersebutlah yang menjadi inspirasi untuk para filosof dalam membaca dan
mengkaji atau meneliti, kejadian manusia sejak dia (manusia) masih berbentuk
segumpal darah menjadi janin dan menjelma menjadi bayi. Kemudian lahir bayi dan
berkembang menjadi anak, menjadi remaja, menjadi dewasa, tua, dan mati. Inilah
siklus hidup manusia yang menjadi sumber ilham bagi manusia yang suka belajar
kebenaran. Kebenaran yang tertulis dan yang tidak tertulis, yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari rekayasa otak dan pikiran manusia, yang
kebenarannya sangat relatif.
BAGIAN IV. PENUTUP
Filsafat normativisme
perspektif Islam, telah berpuluh abad
menjadi salah satu cabang filsafat, yang tidak bebas nilai, dan lebih fokus
kepada perihal penilaian baik atau buruk, bukan benar atau salah, karena Yang
Maha Benar hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan penuh kesadaran para pendukung
filsafat normativisme, tidak hanya percaya dengan kebenaran yang terjangkau
oleh akal, tetapi juga percaya dengan kebenaran yang tidak terjangkau oleh
akal, kalau wahyu Tuhan atau Sunnah Rasul yang menjadi sumbernya. Bahkan segala
yang terjangkau dengan pengamatan inderawi, dan sangat empiris, hanya diyakini
sebagai sebuah kebenaran, dengan kata – kata: Insya Allah dan Wallahu A’lam.
Karena
itu sumber kebenaran dari wahyu Tuhan dan Sunnah Rasul adalah sumber kebenaran
yang mutlak kebenarannya. Demikian pula ijma dan ijtihad telah menjadi
referensi pelengkap yang diyakini kebenarannya melampaui kebenaran rasio dan
empiris. Dengan demikian aliran normativisme meyakini sepenuhnya hukum Tuhan
dan segala peristiwa transcendental, baik yang sudah terjadi, maupun yang belum
terjadi, sepanjang telah diberitakan oleh wahyu, maupun oleh hadist – hadist
Rasulullah. Inilah kekuatan kebenaran yang diyakini dalam filsafat normative
perspektif Islam, yang menjangkau kebenaran dunia – akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya, 1972. Pelayan Kedua Tanah Suci, Kerajaan Saudi
Arabia.
Achmadi Asmoro, 1995. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raya Grafindo Persada.
Alsyaibani, Oma, 1979. Filsafat Pendidikan Islam (Terjemahan) Hasan Langgulung, Jakarta:
Bulan Bintang.
Arsyat Abdull Rahman, 2010. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Bachtiar Amsal, 2007. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Balnadib, 1994. Filsafat
Pendidikan System dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1996. Filsafat Ajaran Islam, Bogor.
J. Sudarminta, S.J, 2003. Etika Agama Dan Persoalan Bangsa, Jurnal Dinamika Masyarakat
Kerjasama, Kementrian Ristek Dan Kondrad Adenaur Stifftung, Jakarta.
Kattsofflois O, 1986. Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana.
Nasroen, 1968. Filsafat
Indonesia, Jakarta Bulan Bintang.
Nasution Harun, 1979. Filsafat Agama, Cetakan Ketiga, Jakarta: PT. Bina Aksara
Pudjawijatna, 1966. Penghubung Kealam Filsafat, Jakarta. PT. Pembangunan
Syaifullah dan Ahmad, 2003. Sisi Baik Perjalanan Manusia, Surabaya: PT. Karya Agung.
Syaifullah A, 1983. Antara Filsafat Dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional
Suria Sumantri, 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan Ke XIII, Jakarta:
Sinar Harapan.
Tafsir Ahmad, 2006. Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemology, dan Aksiology Pengetahuan, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.