Ads 468x60px

Selasa, 27 Maret 2012

NORMATIVISME DALAM FILSAFAT PERSPEKTIF ISLAM


 NORMATIVISME DALAM FILSAFAT PERSPEKTIF ISLAM
H. Hasan Aedy, Program Pasca Sarjana Universitas Haluoleo
Email : hasanaedy@yahoo.com
Blog : hasanaedy.blogspot.com
I.     Pendahuluan
            Filsafat Normativisme dalam perspektif Islam bukan hal baru bagi dunia ilmu pengetahuan. Bahkan secara etimologis kata filsafat itu sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata falsafah atau pandangan hidup. Bukan itu saja filosof kenamaan seperti Ibnu Sina (Avecena), Al-Farabi, Al-Kindi dan Imam Ghazali adalah filosof muslim yang menduduki reputasi dunia dengan karya-karya besarnya. Pertanyaannya adalah, benarkah para filosof Islam (muslim) hanya mengandalkan  kebenaran rasio dan kebenaran empiris, sebagaimana yang diagung – agungkan oleh Filsafat Positivisme. Jawabnya adalah, terpulang kepada para filosof muslim itu sendiri, sejauhmana mereka mampu memahami kebenaran realitas yang supra rasional, dan kebenaran realitas yang tidak rasional. Mereka yang berangkat dari kebenaran wahyu walaupun tidak rasional pasti yakin dengan kebenaran itu. Alasannya karena Tuhan tidak memberi ilmu kepada manusia melainkan hanya sedikit (Qs. Al – Isra: 85). Karena itu filosof muslim yang memilih aqidah yang benar tidak akan pernah tersesat karena belajar filsafat. Bahkan dengan belajar filsafat mereka akan menjadi lebih sadar terhadap kebenaran realitas yang bersumber dari Rab-nya. Inilah filsafat Normative dalam perspektif Islam yang tidak hanya mengagung – agungkan kebenaran akal dan kebenaran empiris, tetapi juga meyakini kebenaran Ilahi sebagai satu – satunya kebenaran yang tertinggi dan mutlak, yang terkadang tidak terjangkau dengan akal dan eksperimen ilmiah. Demikian pula kebenaran sunnah, kebenaran ijma atau konsensus sahabat, dan kebenaran ijtihad, sebagai hasil inovasi dan temuan empiris para ilmuwan (ulama) yang tidak merugikan atau tidak bertentangan dengan kebenaran Tuhan, dan kebenaran Rasulnya.
II.     Kebenaran Yang Berasal Dari Pengalaman Empiris (Sains)
            Kebenaran empiris adalah kebenaran rasional yang dibuktikan secara ilmiah. Kebenaran ini diperoleh secara ilmiah dan ditentukan oleh cara atau metode menemukannya, siapa yang melakukannya dan alat ukur apa yang digunakan, sehingga kebenarannya tidak selalu 100 persen. Bahkan para ilmuwan sosial, sering memaklumi tingkat kesalahan sampai 10 persen. Artinya penemuan ilmiah untuk bidang sosial sudah dianggap benar, jika kebenarannya diyakini sudah mencapai 90 persen atau lebih. Dan inilah yang menjadi salah satu kelemahan dari kebenaran empiris yang tidak sepenuhnya benar.
            Bahkan kebenaran ilmiah untuk bidang sosial, syarat dengan asumsi dengan tingkat kesalahan sampai 20 persen. Artinya penemuan ilmiah untuk bidang sosial tersebut sudah dianggap benar, jika kebenarannya diyakini sudah mencapai 80 persen atau lebih. Dan inilah kelebihan dan kelemahan dari kebenaran ilmiah bidang sosial, yang tidak sepenuhnya benar.
            Disamping itu, kebenaran ilmiah adalah berdasarkan pula pada penilaian ilmiah yang dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah: alat ukurnya, tingkat kecermatan, kecerdasan penemunya, kondisi alamiahnya, kejujuran dan integritas para pendukungnya dan sebagainya, sehingga kebenaran tersebut selalu terbuka untuk diuji kembali, kapan saja atau oleh siapa saja yang telah meragukan kebenarannya. Karena itu kebenaran ilmiah juga menjadi kebenaran yang relatif. Relatif karena hanya benar selama belum ada penemuan yang menolak kebenarannya. Bahkan kebenarannya hanya diyakini dengan memaklumi tingkat kesalahannya yang melekat pada kebenaran tersebut. Maka pantaslah kalau filosof masih dalam pencarian, dimana kebenaran itu, dan untuk apa kebenaran dicari. Sikap filosof yang skeptis dengan kebenaran, telah menunjukkan bahwa kebenaran akal dan kebenaran empiris, adalah kebenaran yang lemah yang hanya bersifat sementara, bahkan bisa menjadi kebenaran yang masih diperdebatkan. Keterbatasan akal manusia dan keterbatasan hidup manusia, telah menjadi aksioma terhadap kebenaran yang bersumber dari akal. Demikian pula luasnya alam raya, dengan segala proses yang dilaluinya, hanya akan mampu dipikirkan manusia, secara spekulatif, yang bisa benar, bisa salah. Karena itu dalam filsafat normatif, perspektif Islam hanya dapat meyakini kebenaran dengan kata – kata: “ Insya Allah “ atau Wallahu A’lam bishowab. Disinilah kekuatannya para penganut filsafat normatif perspektif Islam yang tidak hanya puas dengan kekuatan rasio dan uji empiris, tetapi juga kuat dengan keyakinannya terhadap kebenaran Allah Swt.
III.  Sumber – Sumber Kebenaran Filsafat Normativisme Perspektif Islam
Wahyu Tuhan adalah kebenaran yang bersumber dari Sang Pencipta, Pencipta akal, pencipta naluri dan pencipta alam semesta dengan semua makhluk yang ada didalamnya, termasuk pencipta manusia Genius dan para filosof penemu kebenaran dengan rasionya, dan studi empirisnya. Namun kebenaran wahyu ada yang tidak masuk akal, tidak terjangkau oleh akal dan tidak bisa diteliti secara empiris. Akan tetapi karena manusia mendapat hidayah (beriman) maka mereka percaya begitu saja terhadap kebenaran wahyu dengan keyakinanya sendiri, bahwa kebenaran wahyu adalah kebenaran yang absolut, hanya manusia tidak diberi ilmu oleh Sang Pencipta untuk mampu memahami kebenaran wahyu itu, menurut akalnya dan menurut pengalaman empirisnya. Karena itu Sang Pencipta mengingatkan manusia bahwa tidak  memberi ilmu yang cukup buat manusia, melainkan hanya sedikit saja. Dan kebenaran wahyu inilah yang menjadi acuan ilmuwan buat semua manusia dalam menjalani kehidupan, sehingga manusia hanya mengerjakan kebaikan dan menghindari segala keburukan sesuai dengan pesan wahyu itu sendiri. Keburukan yang menyangkut diri sendiri, menyangkut sesama dan lingkungan semesta harus dihindari manusia. Dengan meyakini kebenaran wahyu maka manusia akan melaksanakan misi hidupnya dengan menerapkan akidah yang benar dan ibadah yang benar, sehingga bumi ini akan diberkati oleh Sang Pencipta dari langit dan dari bumi.
Adapun sumber kebenaran Filsafat Normatif adalah sebagai berikut :
1)    Kebenaran Yang Bersumber Dari Wahyu Tuhan
Kebenaran wahyu bukan kebenaran yang diagungkan oleh aliran positivisme dan aliran pragmatisme. Kebenaran ini bukan pula kebenaran yang dihasilkan oleh akal atau rasio yang dimiliki oleh manusia. Sesuatu hanya diterima sebagai kebenaran kalau masuk akal, atau tidak bertentangan dengan kebenaran yang sudah diterima lebih dulu. Boleh jadi kebenaran yang ada akan ditolak oleh manusia walaupun benar karena pembuktian baru telah bertentangan dengan kebenaran umum yang telah diyakini oleh kebanyakan manusia. Kebenaran hanya akan bermanfaat bagi manusia selama masih rasional dan dapat dibuktikan secara empiris. Maka manusiapun meneliti alam semesta dan mencari kebenaran dari alam. Di sini hukum-hukum alam, dipercaya sebagai sumber kebenaran yang paling berpengaruh dalam kehidupan sepanjang peradaban manusia, namun ketika Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, beliau merasa dingin didalam api unggun. Kembali hukum alam terbantah sebagai referensi yang paling dipercaya. Karena ada “Sang Kausa Prima”, yang mampu berbuat, melawan hukum alam. Di sini berarti berlawan pula dengan rasio manusia. Pada saat yang lain akal manusia terbatas dengan masa berlakunya yang terbatas pula. Bukankah hukum alam bisa berubah, kalau yang menguasai alam merubahnya. Itulah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi referensi utama dari segala kejadian, Karena itu sepanjang peradaban manusia telah membuktikan banyak kelemahannya sesuai dengan kelemahan manusia itu sendiri, sungguhpun pemikiran itu lahir dari otak filosof atau Sang Genius. Bahkan kebenaran dari Sang filosof atau Sang Genius tidak akan pernah melampaui kebenaran dari Yang Maha Benar. Demikianlah keterbatasan rasio yang benar, tetapi penuh celah dan sangat relatif kebenarannya, sehingga sering memerlukan anggapan (asumsi) yang secara ilmiah masih perlu dibuktikan pula. Inilah kebenaran wahyu yang menjadi sumber para filosof dalam perspektif Islam. Kebenaran ini akan membawa manusia kepada kehidupan yang benar tanpa kesesatan dunia dan akhirat.
2)      Kebenaran Yang Bersumber Dari As Sunnah
Sumber kebenaran yang lain, setelah wahyu Sang Pencipta adalah sabda Rasulullah Saw. Sungguhpun banyak hadist palsu dan hadist lemah, namun para ulama fakih tidak berselisih pendapat, jika haditsnya sahih, maka hadist tersebut menjadi sumber kebenaran. Dan sumber kebenaran ini, bersifat absolut, sehingga jika secara rasional tidak masuk akal, maka yang salah bukan hadisnya tetapi akal manusia yang terbatas. Inilah sumber ilmu yang kedua setelah Al-Qur’an yang menjadi acuan filsafat ilmu dalam perspektif Islam yang sesungguhnya. Selain itu ada pula yang disebut idjma, kias dan ijthad. Namun kebenarannya sudah lebih rendah dari hadist.
3)      Kebenaran Yang Bersumber Dari Ijma
Ijma adalah sumber kebenaran, yang ketiga setelah wahyu dan sunnah. Dengan Ijma, maka berbagai hal yang samar – samar, kemudian menjadi terang, dan menjadi sumber nilai yang dapat diyakini kebenarannya 100 persen. Masalah muammalah, yang merupakan hubungan antara sesama manusia, menjadi lebih jelas dan terarah kepada nilai baik dan buruk, dengan mengacu kepada ijma.
4)      Kebenaran Yang Bersumber Dari Ijtihad
Ijtihad adalah sumber kebenaran dalam Islam yang dicapai sebagai hasil – hasil inovasi dan kreativitas ulama (ilmuwan) yang tidak bertentangan dengan wahyu, sunnah dan ijma. Disinilah kebenaran empiris dan rasional berfungsi sebagai penjabaran atau detail dari kehidupan.
5)      Kebenaran Yang Bersumber Dari Perilaku Alam Semesta (Empiris)
Penciptaan alam semesta dan jagat raya, pergantian siang dan malam adalah ayat – ayat Tuhan yang menjadi sumber kebenaran setelah Firman Tuhan yang tertulis. Karena itu seorang filosof Islam, dapat menemukan kebenaran dengan perenungan terhadap alam raya dan kejadian didalamnya. Dan kebenaran ini pulalah yang disinyalir dengan hadist Rasulullah Saw “ Fikirkan tentang ciptaannya jangan fikirkan Penciptanya (Allah). Inilah sumber kebenaran filsafat ilmu dalam perspektif Islam yang mestinya selalu dikaji dan diteliti, sehingga memberi makna bagi manusia dalam menelusuri kebenaran lainnya, khususnya kebenaran filsafat yang bertentangan dengan kebenaran Islam.
6)      Kebenaran Yang Bersumber Dari Eksistensi Manusia
Manusia adalah bagian dari alam semesta (makro kosmos) karena itu, manusia memiliki ciri – ciri dari alam semesta. Lihat saja dalam semesta ini ada angin, api, air dan ada tanah. Keempat unsur tersebut juga ada pada diri manusia sebagai mikro kosmos. Karena itu selain alam semesta, diri manusia, jasmani maupun rohani adalah ayat-ayat Tuhan yang menjadi sumber kajian, yang dapat menghasilkan kebenaran yang hakiki. Bukankah ayat yang pertama turun kebumi mengajak manusia untuk membaca ? Perhatikan firman-Nya dalam Surat Al-Alaq (ayat 1 – 5) Allah SWT berfirman yang artinya : “ Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah atas nama Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan manusia dengan Kalam,, dan mengajarkan manusia tentang apa – apa yang belum diketahuinya”.
Ayat – ayat tersebutlah yang menjadi inspirasi untuk para filosof dalam membaca dan mengkaji atau meneliti, kejadian manusia sejak dia (manusia) masih berbentuk segumpal darah menjadi janin dan menjelma menjadi bayi. Kemudian lahir bayi dan berkembang menjadi anak, menjadi remaja, menjadi dewasa, tua, dan mati. Inilah siklus hidup manusia yang menjadi sumber ilham bagi manusia yang suka belajar kebenaran. Kebenaran yang tertulis dan yang tidak tertulis, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari rekayasa otak dan pikiran manusia, yang kebenarannya sangat relatif.

BAGIAN IV. PENUTUP
            Filsafat normativisme perspektif  Islam, telah berpuluh abad menjadi salah satu cabang filsafat, yang tidak bebas nilai, dan lebih fokus kepada perihal penilaian baik atau buruk, bukan benar atau salah, karena Yang Maha Benar hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan penuh kesadaran para pendukung filsafat normativisme, tidak hanya percaya dengan kebenaran yang terjangkau oleh akal, tetapi juga percaya dengan kebenaran yang tidak terjangkau oleh akal, kalau wahyu Tuhan atau Sunnah Rasul yang menjadi sumbernya. Bahkan segala yang terjangkau dengan pengamatan inderawi, dan sangat empiris, hanya diyakini sebagai sebuah kebenaran, dengan kata – kata: Insya Allah dan Wallahu A’lam.
Karena itu sumber kebenaran dari wahyu Tuhan dan Sunnah Rasul adalah sumber kebenaran yang mutlak kebenarannya. Demikian pula ijma dan ijtihad telah menjadi referensi pelengkap yang diyakini kebenarannya melampaui kebenaran rasio dan empiris. Dengan demikian aliran normativisme meyakini sepenuhnya hukum Tuhan dan segala peristiwa transcendental, baik yang sudah terjadi, maupun yang belum terjadi, sepanjang telah diberitakan oleh wahyu, maupun oleh hadist – hadist Rasulullah. Inilah kekuatan kebenaran yang diyakini dalam filsafat normative perspektif Islam, yang menjangkau kebenaran dunia – akhirat.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya, 1972. Pelayan Kedua Tanah Suci, Kerajaan Saudi Arabia.
Achmadi Asmoro, 1995. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raya Grafindo Persada.
Alsyaibani, Oma, 1979. Filsafat Pendidikan Islam (Terjemahan) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.
Arsyat Abdull Rahman, 2010. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Bachtiar Amsal, 2007. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Balnadib, 1994. Filsafat Pendidikan System dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1996. Filsafat Ajaran Islam, Bogor.
J. Sudarminta, S.J, 2003. Etika Agama Dan Persoalan Bangsa, Jurnal Dinamika Masyarakat Kerjasama, Kementrian Ristek Dan Kondrad Adenaur Stifftung, Jakarta.
Kattsofflois O, 1986. Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana.
Nasroen, 1968. Filsafat Indonesia, Jakarta Bulan Bintang.
Nasution Harun, 1979. Filsafat Agama, Cetakan Ketiga, Jakarta: PT. Bina Aksara
Pudjawijatna, 1966. Penghubung Kealam Filsafat, Jakarta. PT. Pembangunan
Syaifullah dan Ahmad, 2003. Sisi Baik Perjalanan Manusia, Surabaya: PT. Karya Agung.
Syaifullah A, 1983. Antara Filsafat Dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional
Suria Sumantri, 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan Ke XIII, Jakarta: Sinar Harapan.
Tafsir Ahmad, 2006. Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemology, dan Aksiology Pengetahuan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.